Homili 26 Desember – Santu Stefanus – 2018

Pesta St. Stefanus, Proto Martir Gereja
Kis 6: 8-10; 7:54-59
Mzm 31: 3cd-4.6.8ab.16b.17
Mat 10: 17-22

Martir itu memberi diri secara total

Sehari setelah merayakan Hari Raya Natal, kita mengenang proto martir di dalam Gereja Katolik. Dialah St. Stefanus, seorang diakon yang melayani Tuhan bukan hanya dengan tenaga dan waktu tetapi dengan nyawanya sendiri. Lukas, sang penulis Kisah Para Rasul bercerita: “Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari” (Kis 6:1). Kita mendapat gambaran yang jelas bahwa meskipun orang-orang Yahudi melabel pengikut Yesus dari Nazaret sebagai sebuah sekte Yahudi, namun para rasul dan orang-orang beriman tidak gentar untuk terus mewartakan-Nya kepada semua orang sehingga jumlahnya semakin bertambah. Dampak pertambahan para murid adalah munculnya rasa bersungut-sungut karena pelayanan kepada semua orang beriman tidak maksimal. Petrus dan teman-temannya sepakat dan berkata: “Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja. Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman.” (Kis 6:2-4).

Dari perkataan para rasul ini, kita mendapat gambaran bahwa mereka sibuk melayani kebutuhan Gereja perdana. Hanya saja mereka mengakui dengan jujur telah lalai dalam melayani Firman Allah sebagai prioritas pertama dan memprioritaskan melayani meja. Kesadaran ini memang baik adanya. Pada zaman ini masih ada fenomena ini, di mana para abdi Tuhan lalai mewartakan Firman: tidak membaca Kitab Suci, tidak menyiapkan homili dengan baik, merayakan Ekaristi tanpa devosi. Para abdi Tuhan lebih mudah melayani meja: selalu siap untuk party dan membatalkan misa lingkungan atau pelayanan sakramen lainnya. Selalu siap untuk menonton film terbaru bersama gengnya biar lebih update, takutnya abdi itu dianggap tidak gaul. Saya merasa bangga dengan para rasul yang lambat tetapi dapat sadar diri untuk berubah dalam melakukan skala prioritas mereka.

Untuk menjawabi situasi ini maka aksi yang dilakukan adalah memilih tujuh διάκονος atau diákonos. Secara harafiah, diakonos berarti “pelayan”, “penunggu”, “pemangku”, atau “pewarta”. Syarat utamanya adalah mereka memiliki reputasi baik dan penuh dengan Roh Kudus. Pokoknya mereka haruslah pelayan yang kudus. Mereka ini akan lebih focus dalam melayani meja dan kebutuhan lahiria lainnya. Ketujuh diakon yang dimaksud adalah: Stefanus, Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus (Kis 6:5). Dari semua diakon terpilih ini, Στέφανος atau Stéfanos memiliki tambahan: ‘seorang yang penuh iman dan Roh Kudus’. Dialah yang menjadi protomartir di dalam Gereja Katolik. Ia tidak hanya memberi waktu dan tenaga dalam melayani, tetapi seluruh hidupnya ia serahkan kepada Tuhan Yesus Kristus. Ia berkata: “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (Kis 7:59) sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kisah kemartirannya memang sederhana. Ia penuh dengan Roh Kudus maka dalam pelayanannya, ia menunjukkan kasih karunia dan kuasa yang diterimanya dari Tuhan. Ia mengadakan mukjizat dan tanda-tanda yang menarik perhatian orang banyak. Tentu saja tanda-tanda ini berkaitan dengan pribadi Yesus Kristus. Perkataan dan pekerjaannya ini tidak diterima oleh orang-orang pada zamannya. Lukas mengisahkan seperti ini: “Tetapi tampillah beberapa orang dari jemaat Yahudi yang disebut jemaat orang Libertini, anggota-anggota jemaat itu adalah orang-orang dari Kirene dan dari Aleksandria, bersama dengan beberapa orang Yahudi dari Kilikia dan dari Asia. Orang-orang itu bersoal jawab dengan Stefanus, tetapi mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan Roh yang mendorong dia berbicara.” (Kis 6:9-10).

Stefanus dihadapkan ke Mahkamah Agama untuk diadili karena tanda-tanda heran dan juga nama Yesus yang selalu disebutnya. Mereka bahkan mengertakan gigi mendengar kesaksian Stefanus. Hati mereka tertusuk. Ia bahkan tidak takut untuk bersaksi: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kis 7:56). Kata-kata ini disambut dengan teriakan dan serbuan kepada pribadi Stefanus. Lukas mengisahkan bahwa Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya. Dan saksi-saksi meletakkan jubah mereka di depan kaki seorang muda yang bernama Saulus.

Tertulianus mengatakan bahwa darah para martir adalah benih yang baik untuk pertumbuhan iman Kristiani. Darah Stefanus memberikan benih-benih yang subur bagi pertumbuhan Gereja perdana hingga saat ini. Stefanus menjadi martir karena memberi dirinya secara total kepada Tuhan Yesus. Ia mengikuti perkataan Yesus: “Orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” (Mat 10:22). Meskipun banyak kesulitan dan tantangan apapun, namun kesetiaan sebagai orang beriman akan membuka pintu keselamatan bagi dirinya.

Kemartiran zaman ini bukan lagi dengan menumpahkan darah saja. Kemartiran zaman ini ditandai dengan pengurbanan diri untuk melayani semua orang, tanpa membedakan siapakah orang yang dilayani. Melayani musuh dengan sukacita adalah sebuah kemartiran. Ini memang sulit, namun kalau dilakukan dengan cinta maka pintu keselamatan akan terbuka bagi kita semua. Musuh berubah menjadi sahabat dan saudara karena kemartiran kita. St. Stefanus doakanlah kami untuk mengatakan kebenaran kepada sesama lain.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply