Homili Hari Minggu Biasa ke-VI/C – 2019

Hari Minggu Biasa VI/C
Yer. 17:5-8
Mzm. 1:1-2,3,4,6
1Kor. 15:12,16-20
Luk. 6:17,20-26

Katakan ‘Berbahagialah’!

Selamat Hari Minggu Biasa yang ke-VI/C untuk anda sekeluarga. Saya pernah mendengar ceramah dari seorang pendidik senior yang diperuntukannya bagi para orang tua siswa dan siswi di sebuah sekolah katolik. Ceramahnya itu memang sederhana, santai dan serius untuk menyimaknya. Ia mengatakan kepada para orang tua supaya tidak lelah mengatakan sekaligus mengajarkan anak-anak mereka dengan perkataan: “Berbahagialah”. Sang pendidik senior itu berkata: “Katakan ‘berbahagialah’ kepada anak-anakmu, dan setelah waktu-waktu hidup mereka berlalu, maka kata-kata itu akan mengubah hidup mereka dan seluruh dunia”. Saya merasa senang dengan perkataan-perkataan yang sederhana ini. Bagi saya, sang pendidik senior ini tidak sedang berteori tentang kata ‘berbahagialah’, tetapi sedang membagi pengalamannya tentang ‘berbahagialah’ sebagai pendidik dan orang tua kepada para orang tua siswa. Saya sendiri merasa yakin, bahwa semakin kita mengulangi, memahami dan menyimak perkataan ‘berbahagialah’ ini, hidup kita perlahan-lahan berubah secara total menjadi lebih baik dan bahagia lagi.

Saya mengingat perkataan seorang negarawan Inggris, namanya William E. Gladstone (1809-1888). Ia pernah berkata: “Berbahagialah dengan diri anda dan apa yang anda miliki, bermurah hatilah dan anda tidak perlu lagi mencari kebahagiaan.” Perkataan Gladston menginspirasikan kita untuk tidak hanya mengucapkan kata ‘berbahagialah’ saja. Kita perlu memahami dan mengalami ucapan ‘berbahagialah’, mula-mula bagi diri kita sendiri dan segala yang sedang kita miliki. Kita berbahagia dengan diri sendiri dan dengan demikian dapat membahagiakan sesama manusia. Kita perlu bermurah hati supaya orang lain mengalami kebahagiaan yang sudah sedang kita alami secara pribadi. Kita tidak dapat menularkan kata berbahagialah kepada orang lain kalau kita belum mengalaminya secara pribadi. Katakanlah ‘berbahagialah’ kepada sesama karena kita sudah sedang mengalami rasa bahagia.

Adalah Soe Hok Gie (1942-1969). Banyak di antara kita yang mengenalnya sebagai seorang aktivis Indonesia berdarah Tionghoa. Ia pernah mengucapkkan isi hatinya seperti ini: “Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: ‘dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan’. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.” Mari kita bertanya: Apakah kita sudah sedang merasa bahagia dengan diri kita? Atau apakah kita belum merasa bahagia dalam hidup ini? Kita belum merasa bahagia sebab kita masih jauh dari Tuhan, sumber kebahagiaan sejati. Kalau kita percaya kepada Tuhan, kebahagian akan datang kepada kita, kalau kita belum percaya berarti kebahagiaan masih jauh dari hidup kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu Biasa ke-VI/C ini memberi jawaban pasti tentang pengalaman berbahagia di dalam Tuhan. Dalam bacaan pertama, kita mendengar nubuat Tuhan dalam Kitab nabi Yeremia tentang kutuk dan berkat. Kutukan membawa kesengsaraan dan hidup jauh dari rahmat Tuhan. Berkat membawa kebahagiaan abadi. Lebih jelas Tuhan berkata: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan” (Yer 17:5). Orang sering mengandalkan kekuatannya sendiri dan lupa bahwa Tuhan haruslah tetap menjadi nomor satu. Mereka itu hidupnya tidak beruntung seperti sedang tinggal di tanah gersang. Sebaliknya yang harus dicari manusia adalah berkat. Tuhan berkata: “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!” (Yer 17:7). Orang yang mengandalkan Tuhan dan berharap kepada-Nya akan hidup dalam rahmat. Mereka seperti pohon di tepi sungai yang menghasilkan buah melimpah. Tuhan Yesus pernah berkata: “Sine me nihil potestis facere” artinya “Terlepas dari Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).

Nubuat Tuhan dalam Kitab nabi Yeremia ini membawa kita kepada pilihan hidup yang tepat. Hidup dalam rahmat Tuhan berarti berkat yang membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Hidup jauh dari rahmat Tuhan berarti kutukan yang mencelakakan kita. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memperhatikan begitu banyak orang yang datang kepada-Nya. Mereka mewakili seluruh dunia: daerah Yudea, Yerusalem, pantai Tirus dan Sidon, dan tentu dari daerah sekitar Danau Galilea. Mereka datang kepada Yesus dengan harapan pasti yakni menerima berkat yang membahagiakan hidup mereka. Mereka benar-benar miskin secara rohani dan jasmani, lapar karena berhari-hari mencari hingga menemukan Yesus, menangis karena penyakit dan kelemahan yang mereka miliki dan mengharapkan kesembuhan dari Yesus. Mereka yang mengalami penindasan fisik dan verbal karena nama Yesus. Yesus melihat bahwa semua orang yang datang kepada-Nya memang seperti ini maka Ia menyapa mereka ‘berbahagialah’. Orang-orang ini benar-benar mengandalkan Tuhan sehingga layak berbahagia dan mendapat berkat. Kita harus mengerti bahwa Yesus sangat mengasihi orang miskin tetapi Ia tidak menghendaki kemiskinan. Kemiskinan itu harus dientas. Orang-orang miskin hanya akan menjadi orang anawim, yang mengandalkan penyelenggaraan ilahi.

Orang-orang yang mengandalkan diri dan harta kekayaannya akan menjauh dari Tuhan. Kekayaan sudah menghalangi mereka untuk bersatu dengan Tuhan. Sebab itu Tuhan Yesus mengecam orang-orang kaya, orang yang kenyang, yang tertawa dan yang suka mencari pujian. Tuhan Yesus tidak sedang membenci orang kaya. Ia menyadarkan orang-orang kaya untuk berempati dengan orang-orang miskin di sekitarnya. Kekayaan janganlah menjadi alasan untuk menindas mereka yang miskin sehingga semakin miskin. Orang-orang yang kenyang mengandalkan perutnya dan melupakan mereka yang lapar. Orang-orang yang tertawa menjadi lupa dan menertawakan penderitaan sesamanya. Orang-orang yang gila pujian melupakan Tuhan dan mencela sesama umat beriman bahkan mencela Tuhan Yesus sendiri. Tuhan Yesus melihat bahwa semua potensi ini selalu ada maka celakalah, terkutuklah perbuatan-perbuatan yang melanggar hak hidup sesama manusia dan imannya kepada Tuhan.

Apa yang harus kita lakukan untuk tetap berbahagia?

St. Paulus dalam bacaan kedua memberi kita jalan yang pasti yaitu percaya kepada Yesus yang mengurbankan diri-Nya dalam peristiwa paskah dan bangkit dengan mulia. Ia telah mengalahkan maut dan masuk ke dalam hidup. Ini berarti hal-hal lain tak perlu kita takuti. Maut saja dikalahkan-Nya karena Ia ingin memberikan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paulus melihat situasi nyata saat itu sehingga ia berkata kepada jemaat di Korintus dam kita yang membaca dan merenungkannya saat ini: “Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.” (1Kor 15:16-20). Kita harus percaya dan berani bersaksi bahwa Kristus sudah bangkit. Kepercayaan kepada Dia yang bangkit ini membawa berkat dan kebahagiaan abadi bagi kita.

Pada hari Minggu ini kita semua merasa bahagia. Tuhan menyapa kita dengan kata-kata berkat yang membahagiakan. Kita datang kepada-Nya dalam Ekaristi kudus karena kita mengharapkan kebahagiaan abadi. Ia bersabda dan memberi tubuh dan darah-Nya bagi keselamatan kita. Sebab itu kita harus selalu mengandalkan-Nya sehingga berkat semakin dekat dan kutukan semakin jauh. Kasih Tuhan memihak kita karena kita percaya kepada kebangkitan Yesus Kristus, Anak Allah. Mari kita melawan lupa dan katakanlah setiap waktu kehidupan kita kepada sesama: “Berbahagialah”. Apakah anda bahagia?

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply