Homili Pesta Takhta Santu Petrus – 2019

Pesta Takhta Santu Petrus
1Ptr 5:1-4
Mzm 23:1-3a.3b-4.5.6
Mat 16:13-19

Melayani dengan tulus

Hari ini kita merayakan pesta Takhta Santu Petrus. Pesta ini bermula dari sebuah kebiasaan orang-orang kafir di Roma, yang setiap tahun mengenang orang-orang yang sudah meninggal dunia. Biasanya mereka berkumpul di pekuburan, bersukacita dengan mengadakan pesta bersama. Pada saat santap bersama mereka membiarkan sebuah kursi kosong. Kursi ini sengaja dibiarkan kosong karena diperuntukan bagi sanak keluarga yang sudah meninggal dunia. Mereka yang masih hidup merasakan kehadiran saudari dan saudara yang sudah meninggal dunia. Tentu saja orang-orang yang sebelum menjadi orang katolik sudah terbiasa dengan suasana semacam ini. Sebab itu mereka berpikir bahwa setiap tahun mereka tidak hanya mengenang sanak keluarga yang sudah meninggal dunia, tetapi sebagai anggota Gereja mereka juga mengenang para Rasul seperti santu Petrus dan dan teman-temannya, juga para penggantinya di Roma. Maka mereka berpikir bahwa sebaiknya di dalam gedung Gereja disiapkan sebuah kursi atau Cathedra atau takhta untuk mengenang St. Petrus dan para penggantinya. Pada abad ke-IV seluruh Gereja Katolik mulai mengenang dan merayakannya sebagai sebuah pesta untuk bagi Rasul Petrus dan para penggantinya. Hari ini kita mendoakan Bapa Suci paus Fransiskus dan tugas kegembalaannya di dalam Gereja Katolik.

Tuhan Yesus menghendaki agar semua karya-Nya di atas dunia berkelanjutan. Sebab itu Ia memilih dan mengutus para rasul-Nya ke kampung-kampung. Tugas para rasul adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan Yesus dengan pergi untuk mewartakan Injil, menyembuhkan orang-orang sakit dan mengusir setan-setan. Mereka tidak mewartakan diri mereka sendiri tetapi mewartakan Tuhan Yesus yang datang ke dunia untuk menghadirkan Kerajaan Allah.

Bacaan Injil hari ini mengisahkan tentang pengalaman kebersamaan para rasul dan Tuhan Yesus di Kaisarea Filipi. Pada waktu itu Tuhan Yesus meminta para rasul untuk membagikan pengalaman iman mereka dalam perutusan mereka, dengan pertanyaan tentang pengenalan orang banyak tentang pribadi-Nya. Ternyata banyak orang masih bernostalgia dengan orang-orang terkenal seperti Yohanes Pembaptis, nabi Elia, nabi Yeremia atau nabi lain yang sudah meninggal dunia. Pertanyaan menjadi semakin nyata bagi para rasul ketika Yesus bertanya siapakah diri-Nya menurut mereka yang sudah sedang tinggal bersama-Nya. Hanya Simon anak Yunus yang berani berkata: “Engkau Mesias, Anak Allah yang hidup!” Benar! Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!

Reaksi Yesus terhadap pengakuan iman Simon adalah luar biasa. Simon disapa berbahagia, terberkati sebab ia mengatakan apa yang Bapa di dalam surga kehendaki. Kita mengingat saat Yesus dibaptis di sungai Yordan dan terdengar kata-kata ini: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Mat 3:17). Yesus adalah Anak yang Bapa kehendaki, Bapa kasihi. Sebagai ungkapan syukur atas pengakuan iman Simon ini maka Yesus mengatakan kepada-Nya: “Engkau adalah Kefas artinya Petrus, artinya wadas dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia akan terikat di surga, dan apa yang kaulepas di dunia akan terlepas di surga.” (16:18-19).

Ada tiga hal simbol penting yang menjadi bagian dari perkataan Yesus kepada Simon Petrus. Pertama, Simon menjadi Kefas atau Petrus. Dia menjadi wadas atau batu keras di mana Tuhan mendirikan Gereja-Nya. Tentu saja kita harus mengerti bahwa bukan Simon yang menjadi wadas tetapi Yesus menjiwai Simon untuk menjadi wadas bagi Gereja. Yesus mengatakan bahwa orang bijaksana membangun rumahnya di atas wadas bukan di atas pasir. Gereja-Nya dibangun di atas wadas yang tahan badai hingga saat ini. Kedua, kunci. Yesus mengatakan tentang kunci untuk menunjukkan hak mengajar dan otoritas Simon sebagai pemimpin Gereja. Otoritas untuk mengajar, memimpin dan membawa semua orang kepada Kristus. Kunci dipakai untuk membuka pintu supaya masuk ke dalam rumah. Petrus dan para penggantinya menjadi kunci untuk membuka pintu kebenaran, pintu keselamatan. Ketiga, tugas perutusan penting. Akhirnya Yesus mengatakan tentang apa yang diikat di dunia akan diikat di surga, apa yang dilepaskan di dunia akan dilepaskan di surga. Yesus mengatakan tentang aktualisasi otoritas dari para gembala. Tugas sang gembala adalah melakukan pekerjaan Yesus. Maka dalam sakramen tobat misalnya, para gembala memiliki tugas untuk melepaskan dosa-dosa manusia dalam nama Yesus. Tuhan Yesus berkata: “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada , dosanya tetap ada.” (Yoh 20:23).

Semua perkataan Tuhan Yesus ini dipertegas oleh Petrus dalam suratnya yang pertama. Ia menasihati para penatua dan saksi penderitaan Kristus untuk menjadi gembala yang baik yang bertugas untuk menggembalakan kawanan domba, bukan dengan terpaksa tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, bukan mencari keuntungan, melainkan dengan pengabdian diri. Para penatua adalah gembala yang melayani dalam mengaktualisasikan tugas kegembalaan bukan untuk menguasai. Melayani itu bukan menguasai. Melayani dengan sukacita bukan menguasai dengan nafsu berkuasa yang menggebu-gebu. Ini bukan karakter seorang pelayan tulen.

Mari kita memeriksa bathin sebagai abdi Tuhan. Apakah kita melayani dengan sukacita? Apakah kita melayani supaya dapat dikenal, menaikan popularitas diri kita? Apakah kita lebih suka mencari chatedra atau kursi untuk berkuasa? Kursi itu bukan simbol kekuasaan melainkan simbol kasih dan pelayanan. Seorang pemimpin adalah pelayan sejati. Kita belajar dari Tuhan Yesus yang datang sebagai gembala baik untuk melayani bukan untuk dilayani. Kita juga belajar dari para gembala yang berkurban untuk kebaikan dan pertumbuhan Gereja Katolik.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply