Homili 8 Agustus 2019

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XVIII
Peringatan Wajib St. Dominikus
Bil. 20:1-13
Mzm. 95:1-2,6-7,8-9
Mat. 16:13-23

Merenungkan luhurnya sebuah Kesetiaan

Adalah Seneca (5 SM – 65 M). Beliau adalah seorang Filsuf, negarawan dan dramawan dari Romawi Kuno. Beliau pernah mengungkapkan buah pikirannya tentang kesetiaan hidup ketika berkata: “Kesetiaan adalah kekayaan termulia di dalam kalbu manusia.” Kesetiaan itu sebuah anugerah yang Tuhan berikan gratis kepada manusia dan ditempatkan di dalam kalbunya. Manusia pada gilirannya harus menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan dan sesama. Setia kepada Tuhan berarti mampu mendengar, mentaati dan mengasihi Tuhan dengan seluruh totalitas hidup kita. Sebagai manusia banyak kali tidak setia tetapi Tuhan tetap setia, dan kesetiaannya selama-lamanaya.

Kita mendengar kisah Musa dan bangsa Israel dalam relasinya dengan Tuhan Allah. Di pihak Tuhan, Ia menunjukkan kesetiaan-Nya kepada manusia. Kita patut bersyukur kepada Tuhan karena kesetiaan-Nya bagi manusia: “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” (Mzm 118: 29). Tuhan setia tetapi manusia tidak setia. Tuhan setia tetapi manusia tidak bersyukur. Di pihak bangsa Israel: mereka mengalami kasih dan kebaikan Tuhan yang begitu berlimpah. Tuhan membebaskan bangsa Israel dari dari kuasa Firaun di Mesir. Ia membimbing mereka dalam perjalanan di padang gurun menuju tanah terjanji. Ia menundukkan para musuh dan melindungi bangsa Israel. Namun sayang sekali karena bangsa Israel berhati keras. Mereka tidak mau mendengar Tuhan tetapi mencobai-Nya. Mereka menyembah berhala dan bersungut-sungut melawan Tuhan. Musa dan Harun menjadi sasaran kekerasan verbal bangsa Israel.

Perikop kita pada hari ini (Bil 20:1-13) mengisahkan sisi lain dari bangsa Israel. Pada saat itu Miryam, saudari Musa meninggal dunia di padang gurun Zin dan tinggal di Kadesh. Bukan hanya kedukaan yang melanda mereka, tetapi mereka juga mengalami kesulitan air minum. Mereka lalu berkumpul mengerumuni Musa dan Harun serta mengucapkan rasa bersungut-sungut kepada Tuhan melalui mereka dua bersaudara. Mereka sempat bertengkar dengan Musa dan Harun. Inilah perkataan mereka yang menunjukkan bahwa mereka tidak tahu bersyukur kepada Tuhan: “Sekiranya kami mati binasa pada waktu saudara-saudara kami mati binasa di hadapan Tuhan! Mengapa kamu membawa jemaah Tuhan ke padang gurun ini, supaya kami dan ternak kami mati di situ? Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membawa kami ke tempat celaka ini, yang bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, anggur dan delima, bahkan air minumpun tidak ada?” (Bil 20:3-5).

Mungkin kita merasa lucu dan menertawakan bangsa Israel karena piciknya pikiran mereka. Mereka bersungut-sungut karena hal kebutuhan pokok mereka tidak terpenuhi: padang gurun bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, delima dan air minum. Sebelumnya mereka bersungut-sungut karena tidak ada daging, ikan, mentimun, bawang merah, bawang putih dan bawang bombai. Kebutuhan pokok tidak terpenuhi maka sang leader dan Tuhan menjadi sasaran amukan bangsa Israel. Sebenarnya bangsa Israel juga tidak jauh berbeda dengan kita saat ini. Berapa kali kita tidak puas dan bersungut-sungut kepada Tuhan? Berapa kali kita sadar dan jatuh dalam dosa yang sama.

Musa memang seorang leader yang menunjukkan empati besar kepada umat Israel dan menjadi jembatan untuk mempersatukan Bangsa Israel dengan Tuhan. Ia bersama Harun masuk ke dalam Kemah Pertemuan untuk berdialog dengan Tuhan Allah. Inilah isi doa mereka: “Ya Tuhan Allah, dengarkanlah seruan umat-Mu, dan bukalah harta benda-Mu, sumber air hidup, agar mereka dipuaskan lalu berhenti menggerutu” Tuhan mendengar doa Musa dan Harun dan memerintahkan mereka: “Ambillah tongkatmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul; katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya; demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya.” (Bil 20:8).

Musa juga manusia yang lemah sehingga tidak diijinkan Tuhan untuk masuk ke tanah terjanji. Tuhan punya alasan, sebab Musa tidak setia dalam menunjukkan kekudusan Tuhan di hadapan umat Israel. Ketika umat Israel bersungut-sungut meminta air untuk minum, Tuhan meminta Musa untuk memukulkan tongkat ke atas bukit batu sehingga keluar air. Sayang sekali Musa kelihatan emosi dan lupa diri di hadirat Tuhan sehingga ia memukul tongkatnya sebanyak dua kali baru keluar air. Manusia di hadapan Tuhan memiliki kelemahan dan kelebihan. Musa mengalaminya itu. Tuhan memandang Musa dan juga Harun dengan penuh kasih dan berkata: “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka.” (Bil 20:12).

Perkataan Tuhan menjadi sempurna kepada Musa ketika tanah terjanji sudah semakin dekat: “Naiklah ke atas pegunungan Abarim, ke atas gunung Nebo, yang di tanah Moab, di tentangan Yerikho, dan pandanglah tanah Kanaan yang Kuberikan kepada orang Israel menjadi miliknya, kemudian engkau akan mati di atas gunung yang akan kaunaiki itu, supaya engkau dikumpulkan kepada kaum leluhurmu, sama seperti Harun, kakakmu, sudah meninggal di gunung Hor dan dikumpulkan kepada kaum leluhurnya oleh sebab kamu telah berubah setia terhadap Aku di tengah-tengah orang Israel, dekat mata air Meriba di Kadesh di padang gurun Zin, dan oleh sebab kamu tidak menghormati kekudusan-Ku di tengah-tengah orang Israel. Engkau boleh melihat negeri itu terbentang di depanmu, tetapi tidak boleh masuk ke sana, ke negeri yang Kuberikan kepada orang Israel.” (Ul 32:48-52).

Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan tentang apa perkataan orang tentang diri-Nya sebagai Anak Manusia. Jawaban mereka sangat realistis karena menyebutkan toko-toko kenamaan saat itu: Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia atau salah seorang nabi. Pertanyaan menjadi semakin sulit ketika Yesus bertanya begini: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mat 16:15). Para rasul-Nya terdiam, saling memandang satu sama lain dan berpikir siapa yang mampu menjawabnya. Simon Petrus dengan rahmat dari Bapa menjawab Yesus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16). Tuhan Yesus memuji Simon Petrus sekaligus memberikan misi baru kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:17-19).

Kesetiaan Simon Petrus pun diuji Yesus. Bagaimanapun juga, Simon Petrus selalu berpikir bahwa Mesias yang hebat itu selalu jaya, tidak akan mengalami suatu penderitaan apapun. Yesus berusaha mengeluarkan Simon Petrus dari zona nyaman dengan sebuah teguran yang keras: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mat 16:23). Ini ujian kesetiaan Simon Petrus di hadapan para murid yang lain. Pada akhirnya Simon Petrus sadar dan mengikuti jejak Kristus sampai tuntas.

Menjadi sosok yang setia itu tidaklah mudah. Hanya dalam Tuhan kita menemukan sebuah kesetiaan yang lengkap dan sempurna. Sedangkan kesetiaan kita masih belum sempurna karena masih ada rasa bersungut-sungut, berkeras hati dan tidak mengindahkan kekudusan Tuhan. Kita memohon St. Dominikus untuk mendoakan kita supaya setia menyerupainya. Santo Dominikus, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply