Food For Thought: Hati yang sederhana

Hati yang sederhana

Pada pagi hari ini saya menonton sebuah video pendek tentang disable persons di Facebook. Dalam video pendek ini ditunjukkan seorang pria yang tidak memiliki kaki yang normal mirip Nick Vujicic, tetapi kedua tangannya masih utuh. Ada juga seorang wanita yang memiliki kaki lengkap tetapi tanggannya hanya sebelah yang memiliki jari jemari sedangkan tangan yang satunya tidak memiliki jari jemari. Kedua pribadi ini tinggal bersama dan saling melengkapi satu sama lain. Setiap hari sang wanita ini melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Ia seperti biasanya memasak, membersihkan rumah dan berbelanja. Semua pekerjaan dilakukan dengan baik sesuai dengan kondisi fisikinya. Hal yang menarik perhatian adalah ketika keluar dari rumah, sang wanita ini membawa serta sang pria di atas punggungnya. Mereka saling menolong kalau sempat makan sesuatu. Keduanya merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena saling melengkapi satu sama lain. Sang wanita menyempurnakan hidup sang pria yang tidak memiliki kaki yang sempurna, sang pria menyempurnakan sang wanita yang tidak memiliki tangan yang sempurna. Saya menontonnya beberapa kali dan membayangkan betapa luhurnya hati kedua orang yang kiranya merupakan pasangan hidup ini.

Pasangan suami dan istri yang hidup bersama dalam keluarga memiliki satu tujuan yakni supaya menjadi pribadi yang bahagia. Tidak ada yang berniat untuk menjadi tidak bahagia. Untuk menjadi pasangan yang bahagia maka butuh kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai yang cocok atau sepadan di dalam hidup mereka. Bahwa ada perbedaan yang begitu banyak sebagai individu bukanlah menjadi masalah. Perbedaan dalam berpikir, berkata dan berbuat itu selalu menjadi kesempatan yang baik bagi pasangan untuk saling menerima dan semakin mencintai satu sama lain. Perbedaan dalam diri pasangan bukan menjadi faktor pemisah sebagai pasangan, melainkan sebagai faktor pemersatu. Hal yang berbeda dalam diri pasangan itu Tuhan rencanakan supaya pasangan itu saling melengkapi satu sama lain. Misalnya, kalau satu pribadi tidak mempunyai tangan maka ada tangan pasangannya yang menolong. Kalau satu pribadi tidak memiliki kaki maka ada kaki pasangannya yang menolong. Kalau tidak ada mata, telinga, hidung dan mulut maka masih ada mata, telinga, hidung dan mulut pasangannya yang menolong. Ini baru namanya cinta yang benar karena mereka saling melengkapi dalam untung dan malang.

Salah satu kesulitan keluarga-keluarga masa kini adalah menipis bahkan menjauhnya setiap pribadi sebagai pasangan. Mungkin mereka tidak mengerti apa artinya menjadi pasangan hidup atau mengerti tetapi tidak melakukannya. Mereka hidup bersama tetapi belum menunjukkan sikap saling berbagi secara wajar. Masih ada klaim ini uangku, itu uangmu. Ini mobilku, itu mobilmu. Ini ayahku dan itu ayamu. Mereka sudah hidup bersama tetapi masih belum bersama. Ada yang secara terang-terangan membuat surat pisah harta sebelum menerima pemberkatan di gereja. Mungkin ada alasan legal dan berkaitan dengan kehidupan ekonomi tetapi dengan cara ini kelihatan pemberian diri sebagai pasangan tidaklah maksimum. Akibatnya ada suami dan istri yang saling menggaji satu sama lain. Istilah mingguan dan bulanan masih ada dalam keluarga. Masih banyak fenomena lain yang kelihatan sederhana tetapi dapat mengancam kebersamaan sebagai pasangan suami dan istri.

Sesungguhnya pasangan suami dan istri itu seperti sepatu (sejalan sampai tua). Mereka memang berbeda karena ada sepatu untuk kaki kiri dan kanan tetapi saling melengkapi satu sama lain. Perhatikanlah dan belajarlah dari sepatu: 1. Bentuknya tak persis sama namun serasi. 2. Saat berjalan tak pernah kompak tapi tujuannya sama. 3. Tak pernah ganti posisi, namun saling melengkapi. 4. Selalu sederajat tak ada yang lebih rendah, tak ada yang lebih tinggi. 5. Bila satu hilang yang lain tak memiliki arti. Seandainya para suami dan istri mengalami sepatu maka keluarga-keluarga akan rukun dan bersatu sampai maut memisahkan.

Saya mengakhiri permenungan ini dengan mengutip perkataan Paulo Coelho ini: “Hati yang sederhana lebih sanggup mencintai tanpa batasan dan rasa takut”. Setiap pribadi sebagai pasangan suami dan istri kalau saja menyadari hidupnya seperti ini pasti menjadi pribadi yang mulia. Milikilah hati yang sederhana dan mampu mencintai tanpa batasan dan rasa takut. Milikilah hati yang sederhana sehingga benar-benar menjadi ‘sepatu’ hingga keabadian. Dengan demikian, setiap pasangan suami dan istri semakin sadar dan menerima diri bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu, sebab itu apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6).

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply