Food For Thought: Merenung tentang kematian

Merenung tentang kematian

Pada malam hari ini saya kembali menemukan kutipan perkataan Steve Jobs (1955-2011) tentang kematian. Ia berkata: Steve Jobs: “Tidak ada seorang pun yang ingin mati. Meski mereka yang ingin pergi ke surga, tidak ingin mati. Namun kematian adalah tujuan kita bersama, tidak ada yang bisa lolos darinya. Kematian adalah penemuan terbaik dalam kehidupan. Ia membersihkan yang lama dan membuat jalan untuk yang baru. Sekarang yang baru adalah kamu, namun suatu saat nanti kamu akan menjadi tua dan ‘dibersihkan’. Maaf terlalu dramatik, namun ini benar.” Saya tersenyum sendiri karena apa yang dikatakannya itu benar adanya. Orang yang merindukan surga saja takut dengan kematian. Kematian dianggap musuh besar dari kehidupan, tetapi St. Fransiskus dari Asisi menyapa kematian sebagai saudara, berarti tidak perlu ditakuti.

Sambil merenung tentang kematian, saya mengingat perkataan Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Ia mengambil contoh-contoh dalam Kitab Perjanjian Lama yang berbicara tentang kematian yang tragis. Misalnya, peristiwa air bah di mana hanya Nuh dan keluarganya yang selamat. Peristiwa Sodom dan Gomora di mana Lot selamat. Demikian suasana di masa Tuhan Yesus. Bagi orang yang tidak siap untuk menyambut kedatangan Tuhan maka sulit baginya untuk memperoleh keselamatan. Tuhan sendiri yang menentukan keselamatan kita. Maka perkataan Tuhan ini sangat bermakna: “Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya.” (Luk 17:33). Dan lebih menakutkan lagi: “Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung nasar.” (Luk 17:37). Menakutkan secara manusiawi, sebagai orang beriman harus berani menyapa kematian sebagai saudara.

Apa yang harus kita lakukan untuk mengalami kematian sebagai pengalaman beriman yang indah?

Yohanes dalam bacaan pertama (2Yoh 4-9) memberi kiat-kiat tertentu. Pertama, setiap orang harus berusaha untuk hidup tanpa cacat dan cela di hadirat Tuhan. Hidup tanpa cacat dan cela adalah kehendak Tuhan sebab Ia menghendaki kita semua untuk menjadi kudus.Tuhan adalah kudus maka kita juga kudus adanya serupa dengan Dia. Kedua, perintah untuk saling mengasihi. Hidup tanpa cacat dan cela di hadirat Tuhan memiliki dasar yang kokoh yaitu kasih. Allah adalah kasih maka kita dapat hidup karena kasih. Tuhan akan mengadili kita pada hari penghakiman berdasarkan kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Seberapa besar kualitas kasih kita kepada Tuhan dan kepada sesama?

Dengan merenungkan hidup tanpa cacat dan cela di hadapan Tuhan maka akan membuka pintu keberanian untuk siap menyambut saudara kematian. Saya mengakhiri dengan mengutip Jean Cocteau (1889-1963), seorang penulis dari Perancis, pernah berkata: “Sejak hari kelahiran saya, kematian saya telah dimulai. Dia berjalan ke arahku, tanpa tergesa-gesa.” Kematian adalah kepastian dan setiap orang harus berusaha untuk merasakan kematian yang membahagiakan.

Tuhan memberkati kita semua,

PJ-SDB