Homili Hari Minggu Biasa ke-XVC – 2022

Hari Minggu Biasa ke- XV
Ul. 30:10-14
Mzm. 69:14,17,30-31,33-34,36ab,37
Kol. 1:15-20;
Luk. 10:25-37

Siapakah orang Samaria itu?

Kita memasuki hari Minggu Biasa ke-XV/C. Untuk siklus tahun C, hari Minggu ini dikenal juga sebagai hari Minggu orang Samaria yang baik hati. Untuk memahami kisah Injil ini, pertama-tama marilah selayang pandang kita masuk ke dalam sejarah Israel. Sebagaimana kita ketahui bahwa kerajaan Israel pernah mengalami kemasyhuran pada masa Saul, Daud, dan Salomo. Namun demikian kisah kerajaan ini akhirnya mengalami perpecahan. Kita dapat membaca kisah lengkapnya di dalam Kitab Perjanjian Lama (1Raj 11:1-13, 26-43; 12:1-33). Di sana kita mendapat gambaran bahwa setelah raja Salomo didepak, Rehabeam sebagai anaknya coba untuk meneruskan takhta pemerintahan ayahnya Salomo namun ternyata ia tidak bisa menjadi raja yang baik. Rehabeam bukannya mau mendengarkan keluh kesah rakyatnya, ia justru tinggi hati dan bertindak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. Dengan demikian Kerajaan Israel yang utuh itu terpecah menjadi dua: di Utara sepuluh suku membentuk Kerajaan Israel di bawah pemerintahan Yerobeam dengan ibu kota Samaria dan di bagian Selatan ada dua suku (Benyamin dan Yehuda) yang meneruskan kerajaan peninggalan Salomo di bawah pemerintahan Rehabeam dan beribu kota Yerusalem. Kedua kerajaan ini saling bermusuhan satu sama lain hingga zaman Yesus.

Pada hari Minggu ini kita mendengar kisah Injil yang sangat menarik perhatian kita. Ada seorang ahli Taurat, tanpa nama, datang kepada Yesus untuk menguji seberapa besar kesetiaan Yesus kepada Taurat. Ia mengajukan pertanyaan tentang apa yang harus dilakukannya untuk mencapai hidup yang kekal. Ia berpikir bahwa Yesus akan memberikan rumusan lain yang lebih singkat, jelas dan tepat, namun Tuhan Yesus malah bertanya kepadanya tentang apa yang sudah dibacanya di dalam Hukum Taurat. Sebagai seorang ahli Taurat ia lalu mengulangi apa yang dikatakan di dalam Kitab Ulangan “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu” (Ul 6:5) dan dalam Kitab Imamat, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im 19:18). Tuhan Yesus memuji Ahli Taurat ini dengan mengatakan bahwa jawabannya secara lisan itu benar, nilainya sempurna. Namun bukan sekedar menghafal melainkan yang penting adalah melakukan di dalam hidupnya sehingga ia juga sungguh-sungguh hidup.

Ahali Taurat ini kelihatan belum puas dengan jawaban Yesus. Maka ia ingin mengetahui dengan lebih jelas lagi siapakah sesamanya manusia itu. Pertanyaan ini sekaligus sebagai upaya untuk membenarkan dirinya. Dia memang hanya bisa menghafal apa yang diketahuinya dari kitab Ulangan dan Imamat tetapi kelemahannya adalah ia belum sepenuhnya melakukannya di dalam hidup. Tuhan Yesus lalu menceritakan sebuah perumpamaan yang sungguh-sungguh akan mengoreksinya dari kesombongan hidupnya. Inilah kisahnya: Ada seorang sesamanya yakni seorang Yahudi yang sedang melakukan perjalanan dari Yerusalem ke Yeriko setelah beribadan di Yerusalem. Jarak kota Yerusalem ke Yerikho adalah sekitar 40km dan arahnya menurun. Dalam perjalanan ini dia dirampok habis-habisan, dipukul babak belur dan dibiarkan begitu saja oleh para perampok di pinggir jalan Kebetulan ada seorang imam yang mungkin kembali setelah beribadah di Yerusalem. Ia melihat orang malang itu, lalu mengambil jalan yang lain dan meneruskan perjalanan ke Yeriko. Hal yang sama juga dilakukan oleh seorang Lewi yang sedang turun ke jalan itu. Setelah melihat orang yang malang itu, ia melewatinya begitu saja. Baik imam dan orang Lewi itu tidak sempat menolong orang yang sedang malang ini karena mungkin mereka terburu-buru karena ada urusan pribadi, tidak memiliki sesuatu untuk menolong dan kemungkinan yang lebih tepat adalah mereka tidak mau menyentuh orang yang berdarah-darah itu karena najis bagi mereka.

Akhirnya datanglah orang yang ketiga. Dia seorang Samaria yang secara politis dan geografis merupakan musuh bagi orang Yudea. Ketika melihat orang Yudea itu, orang Samaria  ini langsung tergerak hati oleh belas kasihan sehingga ia turun dari keledainya. Ia mengambil minyak dan anggur untuk menyirami luka-luka dan membalutnya, mengangkat orang itu dan mendudukan di atas keledainya, sementara dia rela berjalan kaki, membawanya ke penginapan dan merawatnya semalaman. Dia masih memberi uang perawatan kepada pemilik penginapan dan berpesan: “Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.” (Luk 10:35). Tuhan Yesus lalu menatap ahli Taurat ini dan bertanya kepadanya, siapakah yang sungguh menjadi sesama dari ketiga orang ini. Ahli Taurat itu menjawab, yang menjadi sesama manusia adalah dia yang memiliki rasa belas kasih. Yesus mengatakan kepadanya untuk pergi dan melakukan belas kasih kepada sesama manusia.

Kisah Injil ini sekali lagi sangat menarik dan memiliki pesan yang sangat mendalam bagi kita semua. Menjadi sesama manusia bukan sekedar menghafal hukum kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Menjadi sesama manusia berarti memiliki rasa belas kasih kepada sesama yang sangat menderita, musuh sekalipun. Kalau kita hanya memperhatikan orang-orang yang sepaham dengan kita dan mengabaikan orang yang selalu melawan kita lalu apakah untungnya bagi kita sebagai pengikut Kristus? Bahwa dia adalah manusia maka selayaknya kita menolong dan menyelamatkan dalam kesusahannya. Belas kasih itu universal!

Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi sesama yang baik?

Bacaan pertama dan kedua memberi kepada kita jalan yang terbaik. Pertama, kita perlu akrab dengan Sabda Tuhan. Di dalam Kitab Ulangan kita membaca: “Firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.” (Ul 30:14). Bersahabat dan akrab dengan Sabda yakni Yesus sendiri akan mengantar kita untuk bertumbuh menjadi sesama bagi manusia yang lain. Kita juga menyadari bahwa menjadi sesama manusia berarti bersama-sama mengusahakan perdamaian. Fokus kita tetap pada sosok Yesus sebagai Sabda hidup dan pendamai. Santo Paulus mengatakan: “Yesus adalah gambar Allah yang memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.” (Kol 1:20). Maka untuk menjadi sesama manusia yang baik, kita perlu bersatu dengan Yesus sang sabda hidup dan pendamai.

Lalu pertanyaan yang paling penting adalah siapakah orang Samaria itu?

Tuhan Yesus memang hebat! Dia luar biasa! Dia sebenarnya sedang mewahyukan diri-Nya sebagai orang Samaria yang baik hati. Mengapa? Dia sedang berhadapan dengan manusia yang berdosa. Kita tahu bahwa dosa adalah musuh Tuhan Allah. Dia tidak menghukum manusia yang jatuh ke dalam dosa, yang berlumuran darah dan berlumpur dosa. Dia malah menunjukkan pengampunan yang berlimpah kepada orang-orang yang jatuh di mana sesama manusianya hanya bisa melihat dari jauh saja. Dia yang tergerak hati oleh belas kasihan sehingga menolong orang yang malang, orang berdosa dan menderita. Maka pertanyaan siapakah orang Samaria yang baik hati? Dialah Yesus Tuhan kita. Dialah yabg selalu tergerak hati oleh belas kasihan. Dialah yang menunjukkan wajah kerahiman Bapa kepada kita. Maka jadikah seperti Yesus yang memiliki belas kasih kepada sesama manusia. Dengan demikian kita sungguh menjadi sesama bagi manusia yang lain. Tuhan memberkati, Bunda mendoakan.

P. John Laba, SDB