Food For Thought: Mana buktinya?

Mana buktinya?

Saya mempunyai satu pengalaman ini: Mata saya terbelalak dan senyumku terasa kecut ketika mendengar seorang aktivis gereja mengatakan kekecewaaannya kepadaku. Dia merasa bahwa sepertinya Tuhan sedang tidak adil di masa pandemic covid-19 ini. Ia kehilangan beberapa anggota keluarga besar, sahabat dan kenalan terbaik. Dalam doa-doanya ia selalu bertanya kepada Tuhan, tetapi Tuhan tetapi membisu sampai saat ini. Maka dia mengatur strategi untuk mengatakan kekecewaaannya kepada Tuhan dalam doanya, “Tuhan, saya merasa kecewa dengan-Mu karena kehilangan orang-orang penting dalam hidupku. Kalau Engkau itu Mahabaik, mengapa Engkau menghendaki semuanya ini? Mana buktinya bahwa Engkau Mahabaik? Ayo buktikan biar saya percaya kepada-Mu…”

Saya mengatakan mata saya terbelalak dan senyum kecut karena aktivis Gereja juga manusia yang paling lemah dari manusia yang lain. Padahal umat lainnya tak henti-henti memberi jempol kepadanya, tetapi secara pribadi dia ternyata lemah. Pada saat itu saya merasa yakin bahwa Tuhan sedang bekerja. Ia menghendaki supaya saya menguatkannya dalam doa. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya mau menguatkannya dengan doa dan berkat. Dan Tuhan turut bekerja. Tuhan menyadarkannya sehingga sekarang, dia justru menguatkan sesamanya yang lebih lemah.

Saya merasa yakin bahwa pertanyaan “Mana Buktinya?” adalah pertanyaan kita bersama di masa pandemic covid-19 ini. Kita juga mungkin sedang meminta tanda yang membuktikan apakah Tuhan itu sungguh-sungguh Mahabaik atau Tuhan itu biasa-biasa saja seperti yang dipikirkan oleh orang lain di dunia ini. Dari pengalaman yang berat, tidak henti-hentinya orang meminta tanda dan bukti tentang kuasa Tuhan di masa yang sulit ini. Nah, para gembala, orang tua atau siapa saja harus meyakinkan semua orang supaya berubah perilakunya menjadi lebih baik, bukan meminta bukti yang bisa jadi mengecewakan banyak orang.

Bukan hanya manusia yang diminta untuk memberi bukti-bukti tentang kisah hidup pribadi dan komunitas serta keluarga. Tuhan lebih dari itu: Ia tidak meminta bukti cinta kita kepada-Nya sebab Dia tahu segala sesuatu. Tuhan juga pasti merasa kecewa dengan kedosaan kita. Namun Dia tetaplah setia selamanya bagi kita. Dia tidak meminta bukti, kitalah yang mencari bukti. Lalu mana buktinya? Semua hal yang saya maksudkan di sini kiranya membantu kita untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan. Dia merasa kaget saja!

Mari kita bertobat dan kembali jalan Tuhan. Hidup kita bermakna ketika kita mengalami Allah dalam hidup ini.

Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB