Uomo di Dio: Demi Pelayanan

Demi Pelayanan

P. John SDBTema pertemuan untuk pendalaman iman pekan pertama prapaskah dari Keuskupan Agung Jakarta untuk umat diberi judul “Memurnikan Motivasi Pelayanan”. Tema ini merupakan penjabaran tema umum: “Dipilih untuk melayani. Makin beriman, makin bersaudara dan makin berbelarasa.” Para romo, bruder dan prenovis di komunitas saya juga mengadakan pendalaman iman dengan tema yang sama, dengan metode yang berbeda untuk saling meneguhkan satu sama lain di dalam komunitas. Para pria katolik ini dibagi dalam kelompok. Tema ini lalu dimatangkan dan dikomentari lagi supaya lebih kontekstual dengan hidup komunitas religius. Setelah itu dilanjutkan dengan sharing bersama setiap anggota komunitas tentang memurnikan motivasi untuk melayani dengan baik.

Panggilan hidup religius merupakan salah satu bentuk panggilan untuk melayani tanpa pamrih.Dalam kisah panggilan para murid perdana, Yesus berjalan di pantai danau Galilea dan memanggil Petrus dan Andreas saudaranya, Yakobus dan Yohanes saudaranya yang saat itu sedang bekerja sebagai nelayan.Tuhan memanggil mereka dan mereka segera meninggalkan segala sesuatu dan mengikutiNya sampai tuntas. Yesus sendiri berjanji kepada mereka bahwa Ia akan menjadikan mereka penjala manusia (Mat 4: 18-22; Mrk 1:16-20).

Ada beberapa aspek yang indah dalam panggilan para murid perdana ini untuk dijadikan pelayan dengan motivasi yang jelas untuk melayani. Panggilan untuk melayani Tuhan dan sesama adalah inisiatif dari Tuhan dan jawaban pasti dari manusia untuk melayani. Relasi dan komunikasi dua arah ini sangat penting. Yesus berinisiatif berjalan dalam lorong kehidupan manusia dan memanggil manusia dalam hidupnya yang konkret. Para murid perdana tidak sedang berdoa di dalam Sinagoga saat dipanggil Yesus, tetapi saat mereka sedang bekerja sebagai nelayan. Komunikasi dua arah yang lancar ini menghasilkan jawaban pasti para murid perdana yakni kesediaan untuk meninggalkan segala sesuatu, bersikap lepas bebas supaya setia melayani Yesus. Sikap lepas bebas ini bisa ada karena ada komitmen untuk mengasihi Tuhan Yesus yang memanggil untuk melayani. Pada akhirnya Tuhan sendiri menyempurnakan komitmen mereka bukan hanya sekedar mengikutiNya dari dekat tetapi juga menjadi penjala manusia. Orang yang terpanggil akan berkomitmen untuk melayani Tuhan dan melayani sesama supaya mereka sejahtera lahir dan bathin di hadirat Tuhan.

Para imam dan kaum religius adalah orang-orang istimewa yang memiliki sikap lepas bebas untuk “meninggalkan” supaya lebih setia dalam melayani Tuhan dan sesama. Saya memiliki satu pengalaman pribadi yang sangat mendidik dan mendewasakan diri saya sebagai imam. Ketika masih berkarya di Pulau Sumba, daerah Nusa Tenggara Timur, saya diundang untuk merayakan misa hari Minggu di sebuah stasi yang berjarak sekitar 30km dari komunitas kami. Saya melewati hutan yang cukup lebat dan jalannya agak rusak. Setelah satu jam lebih saya tiba di kapel stasi. Jadwal misanya Pukul 9.00 Witeng tetapi diundur hingga pukul 10.00 Witeng. Kapel itu hanya dipenuhi anak-anak bersama dua ibu dan satu bapa yang menjabat sebagai guru agama sekaligus pengurus Gereja stasi. Dari ketiga orang dewasa ini salah satuya saya minta untuk membaca bacaan liturgi, satunya memimpin lagu dan bapa pengurus Gereja membaca pengumuman Gereja.

Sebelum dan selama awal perayaan Ekaristi saya bergumul dengan pelayanan saya sebagai imam di tengah umat stasi ini. Ada rasa penyesalan, marah, merasa rugi waktu dan rugi bahan bakar kendaraan untuk datang melayani umat di stasi tersebut. Saya bisa melakukan perhitungan manusiawi itu karena hanya melihat jumlah umat yang komuni adalah tiga orang dewasa sedangkan yang lain hanya anak-anak kecil. Sambil perayaan Ekaristi berjalan saya merasa ada suara yang mengatakan: “Pastor, layanilah dengan sukacita, jangan dengan penuh perhitungan”.  Saya menyadari suara ini dan melanjutkan perayaan Ekaristi ini dengan baik. Setelah selesai merayakan Ekaristi, saya berdiri di depan pintu kapel untuk melayani semua umat. Anak-anak di stasi itu satu persatu menjabat dan mencium tanganku sambil mengucapkan terima kasih atas pelayanannya. Ketiga orang dewasa itu mengatakan terima kasih dan berharap supaya saya akan datang melayani mereka lagi.

Saya kembali ke komunitas dengan suasana bathin yang sangat berbeda. Saya merasa malu di hadapan Tuhan sebagai pastor yang melayani umat dengan penuh perhitungan yakni jumlah umat yang hadir dan yang lebih khusus lagi adalah yang menerima komuni kudus. Mulanya saya merasa melayani setengah-setengah, tetapi dikuatkan oleh suara yang mengatakan: “Pastor, layanilah dengan sukacita, jangan dengan penuh perhitungan”. Saya lebih diteguhkan lagi ketika mereka dengan senang hati berbaris untuk menerima salam dan berkat di depan gereja dan kata terima kasih keluar dari mulut anak-anak Tuhan yang polos. Sejak saat itu saya rajin pergi ke stasi tersebut meskipun orang yang mengikuti perayaan Ekaristi tetaplah orang yang sama setiap minggu.

Para pria katolik, kita semua dipilih untuk melayani. Semoga kita semua semakin beriman, semakin bersaudara dan semakin berbelarasa. Mungkin saja ada kecenderungan untuk membuat perhitungan tertentu dalam melayani keluarga, gereja dan masyarakat namun janganlah berhenti melayani. Tuhan Yesus adalah seorang pria yang melayani sampai tuntas. Mari kita bertekad untuk makin melayani sampai tuntas seperti Yesus sendiri. Pelayan yang baik adalah dia yang berani meninggalkan segalanya untuk Tuhan dan sesama.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply