Homili 6 November 2014

Hari Kamis, Pekan Biasa XXXI
Flp 3:3-8a
Mzm 105:2-3,4-5,6-7
Luk. 15:1-10

Sukacita Karena Pertobatan

Fr. JohnBeberapa hari yang lalu saya diundang untuk mendengar pengakuan dosa di sebuah sekolah katolik. Dari semua anak yang datang mengaku dosa, saya terkesan dengan seorang anak yang mengaku dosa dengan baik. Saya yakin bahwa ia memeriksa bathin dengan baik sehingga bisa mengakui dosa-dosanya dengan tulus. Setelah selesai mengaku dosa, ia menjabat tanganku, menciumnya dan mengucapkan terima kasih. Ia juga sempat mengatakan rasa legahnya karena sakramen ini. Saya bertanya kepadanya mengapa ia merasa legah. Ia menjawabku karena ia merasakan adanya pengampunan berlimpah dari Tuhan. Ia juga sangat bersukacita karena Tuhan mengasihinya apa adanya. Saya merasa bangga karena seorang anak remaja memiliki iman yang mengarah kepada kematangan.

Pengalaman sederhana ini juga sering dirasakan oleh orang-orang yang membutuhan sakramen tobat, lebih khusus lagi mereka yang menyiapkan diri dengan baik untuk menerima sakramen ini. Orang dikatakan membutuhkan sakramen tobat karena merasa diri sebagai orang berdosa dan ia membutuhkan Tuhan untuk mengampuninya. Ia sungguh mau merasakan kerahiman Tuhan. Orang yang hanya sekedar mengaku dosa tidak akan merasakan sukacita dan kepuasan dalam menerima sakramen tobat.

Tuhan Yesus, dalam bacaan Injil hari ini memberi perumpamaan tentang domba dan dirham yang hilang. Sebagaimana dikisahkan oleh Penginjil Lukas bahwa para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus. Persahabatan yang akrab antara Yesus dan kaum pendosa ini menimbulkan kekecewaan kaum Farisi dan para ahli Taurat sehingga mereka bersungut-sungut melawan Yesus. Bagi mereka, seharusnya Yesus menjauhi kaum pendosa tetapi nyatanya Ia dekat dan akrab dengan mereka. Sikap kaum Farisi dan para ahli Taurat ini memang aneh. Mereka tidak melihat perbuatan baik yang dilakukan Yesus yakni Ia bisa mengubah hidup manusia berdosa dengan bergaul dan tinggal bersama mereka. Dengan mengenal orang berdosa, Yesus juga mengubah mereka menjadi lebih baik. Kita harus ingat bahwa Yesus sendiri tidak menjadi pendosa karena bergaul akrab dengan orang berdosa. Yesus mengasihi manusia pendosa tetapi membenci dosa dan menghancurkannya.

Untuk membuka pikiran kaum Farisi dan para ahli Taurat, Yesus memberikan sebuah perumpamaan tentang domba yang hilang. Ada seorang yang memiliki seratus ekor domba. Jikalau ada satu ekor yang tersesat maka ia akan membiarkan sembilan puluh sembilan dan mencari satu yang tersesat sampai menemukannya. Ketika menemukannya, ia akan bersukacita bersama kerabatnya. Sukacita ditunjukkan dengan memikul domba di bahunya dan memanggil para kerabat untuk mensyukuri bersama. Dengan menggunakan perumpamaan tentang domba yang hilang Yesus mau mengatakan tentang pertobatan orang berdosa dan sukacita surgawi. Yesus berkata: “Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Luk 15:7).

Mirip dengan perumpamaan tentang domba yang hilang, Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang dirham yang hilang. Ada seorang perempuan memiliki sepuluh dirham dan mengalami kehilangan satu dirham. Ia akan membersihkan rumahnya sampai menemukan dirham tersebut. Ketika menemukannya, ia sangat bersukacita karena bisa menemukan dirhamnya yang hilang itu bersama para kerabatnya. Yesus berkata: “Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.” (Luk 15:10).

Kisah Injil ini menarik perhatian kita karena Tuhan Yesus mengambil contoh-contoh praktis sesuai situasi dan kondisi orang-orang dan profesinya pada zaman itu. Bagi mereka, relasi gembala dan domba itu sangatlah akrab. Gembala selalu menjadi gembala yang baik yang mengenal domba-dombanya dengan namanya masing-masing. Demikian juga dirham merupakan benda berharga yang dicari dan dimiliki oleh semua orang. Kalau saja dirham itu hilang maka sang pemiliknya akan mencari sampai mendapatkannya kembali. Menemukan kembali yang tersesat dan hilang menjadi sukacita istimewa bagi Tuhan. Nah, manusia itu jauh lebih istimewa dari pada domba dan dirham. Tuhan sendiri mencari, menemukan dan menganugerahi pertobatan kepada mereka. Inilah sukacita yang besar, karena Tuhan mengasihi manusia apa adanya.

Banyak kali manusia terlampau mengadili dirinya, menganggap dirinya hina karena dosa-dosanya di hadapan Tuhan dan sesama. Sikap hidup seperti ini bukanlah sikap kristiani. Sikap kristiani kalau orang tidak hanya menyesal karena berdosa tetapi sungguh-sungguh bertobat dan menikmati kerahiman Tuhan. Pertobatan yang benar dan tulus membawa sukacita yang besar di pihak Tuhan dan manusia yang berdosa.

St. Paulus mengingatkan jemaat di Filipi untuk bertobat. Dia mengharapkan supaya jemaat di Filipi bermegah di dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya kepada hal-hal lahiria saja. Sabda Tuhanlah yang harus memampukan mereka untuk bermegah di dalam nama Yesus Kristus. Ia mengajak orang-orang Filipi untuk tidak menaruh harapan pada hal lahiria seperti bersunat atau tidak bersunat. Satu hal lain yang ditekankan Paulus adalah bahwa keselamatan ditawarkan oleh Yesus untuk semua orang bukan untuk orang-orang dari suku atau bangsa tertentu. Paulus bersaksi bahwa ia berani melepaskan segala sesuatu supaya bisa memiliki Kristus. Inilah sukacitanya Paulus yang kiranya menjadi sukacita kita juga.

Di dalam hidup menggereja, masih ada kotak-kotak atau pilahan-pilahan. Masih ada umat yang melayani dengan perhitungan, dengan memandang siapakah orang itu dan apakah pelayanan itu bisa mensejahterakan dirinya. Pelayan seperti ini bisa melayani dengan baik tetapi tidak menghasilkan sukacita yang besar. Mari kita membangun semangat tobat dan hidup dalam kasih Tuhan supaya bisa membuat semua orang mengalami sukacita dari Tuhan.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk membangun semangat tobat dan mengalami sukacita ilahi di dalam hidup setiap hari. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply