Homili 10 November 2014

Hari Senin, Pekan Biasa XXXII
St. Leo Agung
Tit 1:1-9
Mzm 24:1-2.3-4ab.5-6
Luk 17:1-6

UKM: Uji Kompetensi Mengampuni

Fr. JohnBetapa sulitnya mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Pasangan suami istri sulit untuk saling mengampuni satu sama lain bilamana salah satu atau kedua-duanya memiliki kesalahan tertentu dalam relasi mereka sebagai suami istri. Orang yang bersahabat bisa menjadi musuh dan sulit untuk mengampuni sahabat yang bersalah, padahal sebenarnya sebagai sahabat itu paling mampu untuk mengampuni. Seorang pimpinan sulit untuk mengampuni bawahan yang lalai dalam tugas sehingga merugikan perusahannya. Bawahan tidak hanya dipecat, gajinya pun tidak dibayar dan dibenci pula oleh pimpinannya. Semua ini menjadi bagian dalam pengalaman keseharian kita. Selalu saja kita mengalami ujian kompetensi untuk mengampuni. Rasanya banyak yang gagal dalam ujian kompetensi mengampuni karena masih ada keterikatan dengan ego. Masih ada keinginan untuk membalas dendam kepada orang yang dianggap sebagai musuh.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini, memberi nasihat-nasihat tertentu untuk menguji kompetensi mengampuni di pihak kita. Apakah kita bisa menyerupai Tuhan Yesus dalam hal mengampuni atau tidak.

Tuhan Yesus memulai nasihat pertama yang memprovokasi kita untuk bisa mengampuni dengan berkata: “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.” (Luk 17:1-2). Melalui pikiran, perkataan dan perbuatan kita bisa saja menyesatkan siapa saja yang ada di sekitar kita. Ketika anda menggunakan panca inderamu dan kalau saja tidak mengontrolnya maka anda akan tersesat dan menyesatkan. Misalnya anda tak sengaja melihat sebuah gambar porno, bisa menyesatkanmu kalau tetap tinggal dalam pikiranmu, diungkapkan dalam perkataanmu dan bisa saja dilakukan di dalam hidupmu. Anda menyesatkan diri sekaligus menyesatkan orang lain.

Tentang menyesatkan sesama, Yesus mengatakan dengan tegas: “Celakalah”. Mengapa? Karena ketika anda menyesatkan orang-orang kecil, lemah, anda membunuh karakter sekaligus membunuh masa depannya. Maka Yesus mengatakan bahwa lebih baik diikatkan batu kilangan di leher dan dibuang ke laut. Dalam masyarakat kita memang masih banyak orang yang menyesatkan sesama. Dahulu sekolah menjadi tempat yang aman tetapi sekalarang sekolah bukan lagi menjadi tempat yang aman. Masih ada bullying dan pelecahan seksual kepada anak-anak di bawah umur. Umumnya para pelaku adalah orang-orang di sekitarnya, yang sudah dikenal dengan baik oleh korban. Para pelaku itu layak mendapay batu kilangan.

Kedua, bagaimana menyikapi orang yang menyesatkan? Yesus menawarkan satu rumusan yang lazim, sebagaimana para Rabi di Israel saat itu yakni kemampuan untuk mengampuni. Apakah orang-orang yang menyesatkan sesama dapat diampuni? Kalau saja Tuhan bisa mengampuni mengapa anda dan saya tidak mampu mengampuni? Tuhan Yesus berkata: “Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” (Luk 17:3-4).
Satu hal yang sulit bagi kita adalah kebiasaan untuk mengunci mulut. Bisa saja anda mengetahui saudaramu bersalah tetapi anda memilih mengunci mulut, tidak rela kehilangan persahabatan dengannya. Anda menjadi orang gagal karena tidak bisa membantu saudaramu untuk berubah. Seharusnya anda menegur, mengoreksi supaya ia menjadi baik. Ketika anda memberi koreksi persaudaraan dan ia menyesal maka ampunilah dia. Artinya anda harus memiliki kemampuan untuk mengampuni tanpa batas.

Mengampuni ala Yesus ini bukanlah hal yang gampang. Coba pikirkanlah, ada seorang saudara yang sudah menyesatkanmu dalam perkataan dan perbuatan, melecehkanmu secara verbal dan fisik bukan sekali melainkan berkali-kali maka anda harus mengampuninya. Mengampuni tanpa batas itu butuh pengorbanan yang besar. Kita harus berjiwa besar dalam mengampuni saudara yang bersalah. Kalau saja Tuhan mengampuni tanpa batas, maka mari kita juga menyerupai Dia yang mengampuni tanpa batas. Kita akan hidup sehat kalau bisa mengampuni saudara kita.

Ketiga, untuk dapat menjadi pribadi yang memiliki kompetensi mengampuni maka kita harus memiliki iman. Iman yang sedang bertumbuh bahkan tanpa malu kita meminta seperti para rasul meminta kepada Yesus: “Tuhan, tambahkanlah iman kami.” Iman sebesar biji sesawi saja sudah lebih dari cukup untuk membantu kita memiliki kompetensi mengampuni. Yesus berkata: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.” (Luk 17:6).

St. Paulus dalam bacaan pertama menyurati Titus agar mengatur gereja-gereja yang masih muda dan sedang berkembang. Untuk itu ia diharapkan Paulus untuk memilih penatua atau orang yang sudah matang secara jasmani dan rohani untuk melanjutkan segala ajaran untuk hidup layak di hadirat Tuhan. Kriteria yang diberikan untuk para pemimpin umat adalah kekudusannya. Seorang pemimpin umat juga haruslah memiliki kemampuan untuk menyatukan setiap pribadi dan mendamaikan mereka yang bermusuhan.

Kita boleh bersyukur kepada Tuhan karena sabdaNya hari ini sungguh-sungguh memberi kekuatan kepada kita untuk tidak saling menyesatkan, mampu mengampuni dan memaafkan tanpa batas. Semua ini membutuhkan iman dan kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa iman kita tidak bisa mengampuni dan memaafkan dan tetap mencari kesempatan untuk menyesatkan sesama.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk memiliki kemampuan mengampuni seperti Engkau sendiri. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply