Homili Tuhan Yesus dipersembahkan di dalam Kenisah – 2019

Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah
Hari Hidup Bakti
Mal. 3:1-4
Mzm. 24:7,8,9,10
Ibr. 2:14-18;
Luk. 2:22-40

Terima kasih sang Terang

Pada hari ini kita merayakan Pesta Yesus dipersembahkan di Kenisah. Perayaan yang kita selalu kenang saat mendoakan salah satu peristiwa gembira di dalam Rosario Suci ini mulai dipopulerkan di dalam Gereja sejak abad ke-V di Yerusalem oleh Gereja Timur. Gereja Barat atau Gereja Katolik baru mempopulerkannya pada abad ke-VI. Khusus Gereja Katolik di kota Roma merayakannya dalam nuansa pertobatan, sedangkan Gereja Katolik di Prancis merayakannya dalam nuansa terang. Umat katolik berarak sambil memegang lilin yang memancarkan cahayanya untuk mengenang Yesus Kristus sebagai Terang dunia. Perayaan ini menjadi sangat bermakna untuk mengenang Tuhan Yesus dipersembahkan di Kenisah Allah, empat puluh hari setelah kelahiran-Nya. Ini merupakan sebuah kebiasaan dalam agama serta adat istiadat Yahudi.

Dalam liturgi saat ini, biasanya dimulai dengan pemberkatan lilin dan perarakan masuk ke dalam Gereja. Antifon Pembukanya sangat bermakna: “Tengoklah! Tuhan akan datang dengan kekuatan besar, akan bersinarlah mata semua orang mengabdi kepada-Nya”. Umat juga diajak untuk berarak dalam damai untuk menyongsong Tuhan. Dialah terang untuk menerangi para bangsa dan kemuliaan bagi umat Israel. Dengan demikian, sama seperti Simeon yang menanti kedatangan Yesus sang Mesias, kita berani berkata: “Sekarang Tuhan perkenankanlah hamba-Mu ini berpulang dalam damai sejahtera menurut sabda-Mu, sebab aku telah melihat keselamatan-Mu yang Kausediakan di hadapan segala bangsa.”

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengarahkan pikiran kita untuk tetap fokus pada Yesus. Kita mengimani-Nya sebagai sungguh Allah dan sungguh manusia. Sungguh Allah karena Dia datang untuk menyelamatkan kita semua. Sungguh manusia sebab Dia lahir dari rahim seorang wanita, memiliki bapak pemelihara dan masuk dalam agama dan tradisi Yahudi. Kita mengingat penulis surat kepada umat Ibrani mengatakan bahwa Yesus itu dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya. Ini merupakan sisi kemanusiaan Yesus. Berkaitan dengan ini, Penginjil Lukas mengisahkan tentang genapnya waktu pentahiran sesuai hukum Taurat, Maria dan Yusuf membawa bayi Yesus ke Yerusalem untuk dipersembahkan di dalam bait Allah. Bersamaan dengan bayi Yesus, mereka juga mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.

Peristiwa iman ini memang luar biasa. Ada dua sosok yang memiliki penantian cukup lama bagi kehadiran Yesus sang Terang. Pertama Simeon. Dia orang yang benar dan saleh, penuh dengan Roh Kudus dalam menanti kedatangan Tuhan Yesus. Dengan penuh sukacita ia memandang Yesus yang sudah diangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata: “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.” (Luk 2:29-32). Simeon melihat keselamatan dan terang. Dialah Yesus Kristus. Simeon juga melihat masa depan ibu Yesus yang nantinya akan menjadi Bunda berdukacita: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” (Luk 2:34-35). Maria mendengar dan menyimpan semua perkara ini di dalam hatinya.

Sosok kedua adalah Hana, sang nabi perempuan. Usianya sudah lanjut namun memiliki kerinduan akan datangnya sang Terang. Ia melihat bayi Yesus dan mengucap syukur kepada Allah. Ia berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem. Hanna menunjukkan sebuah keteladanan luhur yakni Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa. Bersatu dan melayani Tuhan adalah jalan yang tepat untuk mengalami Allah sendiri.

Bacaan Injil yang kita dengar membuka wawasan kita. Pertama, Maria dan Yusuf menunjukkan model hidup sebagai orang tua yang memiliki rasa tanggung jawab bagi Anaknya. Kita mengenang saat orang tua mempersembahkan diri kita kepada Tuhan dalam sakramen Pembaptisan. Apakah anda adalah orang tua yang bertanggung jawab terhadap iman anak-anakmu? Kedua, kita memandang Simeon dan Hana. Usia mereka sudah senja tetapi masih merindukan Tuhan. Mereka sangat bahagia melihat Tuhan sebagai Terang dan Penyelamat. Apakah kita juga selalu merindukan Tuhan di dalam hidup kita? Ketiga, dari bacaan pertama pikiran kita diarahkan oleh Malekahi untuk tetap dekat dengan rumah Tuhan. Rumah Tuhan adalah tempat yang kudus, tempat Tuhan bersemayam.

Perayaan Tuhan Yesus dipersembahkan di dalam Kenisah ini juga dirayakan sebagai hari Hidup Bakti. Para imam, biarawan dan biarawati belajar untuk merenung lebih dalam lagi tentang panggilan hidup bakti. Tuhan memanggil, memilih, menentukan pilihan-Nya itu untuk mengabdikan dirinya secara total kepada Tuhan. Memang setiap abdi Tuhan adalah milik Tuhan. Gereja diminta untuk memohon kepada Tuhan yang empunya pekerja. Maka hari ini menjadi hari istimewa karena panggilan hidup bakti memperkokoh pelayanan-pelayanan istimewa di dalam Gereja.

Apa yang dapat dilakukan Gereja untuk menyokong panggilan hidup bakti?

Gereja berdoa supaya Tuhan yang empunya pekerja itu setia selamanya sebagai abdi. Gereja mendukung dengan berbagai cara supaya panggilan yang sifatnya ‘limited edition’ ini tetap kuat. Setiap orang yang terpanggil itu memiliki kerinduan akan Tuhan, tekun dalam doa dan setia selamanya. Hanya dengan demikian bersama seluruh Gereja kita berani berkata: ‘Terima kasih sang Terang’.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply