Don Bosco berkata: Mendidik kaum muda kepada keadilan

Mendidik kaum muda kepada keadilan sosial

Kita semua memasuki bulan Januari tahun 2020. Keluarga besar Salesian pasti langsung mengingat figur besar St. Yohanes Bosco, sang Rasul Kaum Muda di dalam Gereja. Ini adalah bulan Don Bosco. Saya teringat pada St. Yohanes Paulus II. Ia pernah menulis sebuah surat tertanggal 31 Januari 1988 kepada keluarga besar Salesian melalui Rektor Mayor Don Egidio Vigano, SDB. Suratnya berjudul ‘Iuvenum Patris’ memberi ‘gelar’ kepada Don Bosco sebagai Bapak, pendidik dan sahabat kaum muda. Don Bosco sebagai Bapak, sahabat, dan pendidik bagi kaum muda yang miskin dan terlantar. Sebagai seorang imam Diosesan pada masa itu, ia berusaha untuk membantu kaum muda supaya menjadi pribadi yang mandiri. Kaum muda saat itu adalah korban-korban revolusi Industri. Dengan jiwa mudanya mereka menjadi perantau dan pekerja muda di negaranya sendiri.

Don Bosco sebagai seorang Bapak bagi kaum muda, mampu mengarahkan mereka di oratoriumnya untuk menjadi warga negara yang jujur dan orang katolik yang baik. Don Bosco adalah seorang pendidik yang mendidik kaum muda dengan hati. Ia melatih mereka supaya memiliki keterampilan dalam berbagai hal, demi mewujudkan sebuah masa depan yang lebih baik. Don Bosco sebagai sahabat bagi kaum muda. Ia hadir secara aktif dalam kehidupan mereka. Kaum muda yang miskin itu menjadi sadar bahwa Don Bosco benar menjadi sahabat yang mampu mengasihi mereka. Don Bosco berhasil mewariskan sebuah tradisi yang terbaik bagi para Salesian yakni untuk menjadi Bapak, Pendidik dan Sahabat bagi kaum muda, terutama kaum muda yang miskin dan tersisihkan. Melalui sistem edukasinya yakni sistem preventif, Don Bosco berhasil mendidik kaum muda kepada rasa keadilan sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan kaum muda yang lain. Artinya Don Bosco mendidik kaum muda itu memiliki sikap empati kepada sesama kaum muda miskin dan yang sangat membutuhkan.

Memandang dan mengagumi Don Bosco

Mari kita memandang dan mengagumi Don Bosco. Ia memanusiakan manusia muda melalui sistem edukasinya yang disebut sistem preventif. Para Salesian yang menjadi penerus warisan ini menyadari bahwa sistem edukasi ini pada prinsipnya bertujuan untuk menunjuk jalan kekudusan bagi kaum muda yang miskin. Sistem edukasi ini menjadi pelita bagi langkah kaki para Salesian untuk membentuk hidup dan watak kaum muda yang miskin. Untuk menghayati sistim edukasi ini butuh para asisten dengan kehadirannya yang aktif di tengah-tengah kaum muda. Kehadiran yang aktif ini ikut menyokong dan mengaktualisasi tiga pilar sistem edukasi Don Bosco yakni akal budi, iman dan taqwa (agama) dan cinta kasih penuh kebaikan. Ketiga pilar ini merupakan satu kesatuan. Artinya dalam mendidik kaum muda dengan menggunakan akal budi sangat membutuhkan iman dan taqwa (agama) dan cinta kasih penuh kebaikan. Tujuan akhirnya adalah kaum muda itu menjadi kudus.

Menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah mengapa Don Bosco memilih untuk melayani kaum muda yang miskin dengan menggunakan sistem edukasinya ini? Don Bosco mengajarkan sistem edukasinya yakni sistem preventif ini berdasarkan pengalamannya sendiri sejak masa kecil di dalam keluarganya. Mama Margaretha mengajarkan nilai-nilai luhur kehidupan Kristiani kepada Yohanes Bosco. Misalnya kasih dan kebaikan, keadilan, kesederhanaan hidup dan kejujuran. Selain itu kehidupan devosional yang popular kepada orang kudus juga diwariskan mama Margaretha kepadanya. Maka bagi Don Bosco, sistem edukasinya ini dapat berhasil kalau diterapkan dalam kultur Katolik. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, ternyata sistem ini dapat berhasil juga di tempat yang bukan memiliki kultur Katolik. Hal ini disebabkan oleh kemampuan Don Bosco untuk menerapkan nilai-nilai universal yang tidak hanya cocok dalam kultur Katolik, tetapi juga dalam kultur yang bukan katolik.

Marilah kita masuk dalam pengalaman hidup Don Bosco. Ia memulai pelayanan sebagai imam muda di tengah pengaruh besar revolusi industri yang sangat berdampak langsung bagi kaum muda. Banyak orang muda harus melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan demi mencapai hidup yang lebih baik di daerah perkotaan. Don Bosco mencari jalan untuk membantu kaum muda korban revolusi industri ini dengan membentuk oratorium. Di dalam oratorium ini Don Bosco memberi berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, menanamkan pendidikan nilai dan religi kepada kaum muda saat itu.

Dikisahkan bahwa ada sebuah drama yang terjadi sekitar tahun 1846. Ketika itu ada seorang anak remaja yang berusia sekitar 14 tahun, selalu hadir di Oratorium. Ayahnya seorang pemabuk kelas berat. Ia melarang puteranya ini untuk tidak menginjakan kakinya lagi di oratorium. Namun anak muda ini tidak mengindahkan larangan ayahnya. Pada suatu hari Minggu anak muda ini kembali dari oratorium. Ayahnya sudah menyiapkan sebilah pedang untuk membunuh anaknya yang keras kepala karena selalu pergi ke oratorium. Ayahnya bertanya apakah ia barusan kembali dari rumah Don Bosco, namun anak itu tidak menjawabnya. Ia malah lari ke arah oratorium, sementara itu ayahnya mengejarnya dengan membawa sebilah pedang untuk membunuhnya.

Ketika anak itu tiba di oratorium, ternyata pintu gerbangnya sudah ditutup. Ia pun cepat-cepat memanjat sebuah pohon di dekatnya untuk bersembunyi di atasnya. Ayahnya yang sedang mabuk tingkat dewa itu berhasil menerobos masuk ke oratorium, langsung ke kamar Don Bosco untuk mencari anaknya. Don Bosco mengatakan bahwa anaknya tidak ada di oratorium. Ia berdiri sambil berteriak dan mengancam. Tetapi Don Bosco tetap mengatakan bahwa anaknya tidak ada di oratorium. Sang pemabuk tingkat dewa itupun kembali dengan hatinya yang panas. Setelah suasana aman, Don Bosco dan mama Margaretha mencari anak remaja ini. Mereka menemukannya di atas pohon dengan keadaan yang sangat takut karena ancaman ayah untuk membunuhnya. Don Bosco berhasil meyakinkan dia sehingga ia turun bersama Don Bosco ke tanah. Ia menangis ketakutan, tetapi mama Margaretha mengantarnya ke dapur, menyiapkan soup panas untuk santap malamnya. Don Bosco menyiapkan kasur dekat perapian dan membiarkan anak itu beristirahat malam itu. Setelah beberapa hari anak itu kembali ke rumahnya.

Don Bosco memiliki banyak pengalaman ketika melayani anak-anak yatim piatu dan imigran. Meskipun rumahnya tidak menampung banyak orang namun anak muda yang miskin selalu berdatangan untuk beristirahat sejenak pada malam hari. Memang beberapa kali Don Bosco dan Mama Margaretha merasa kecewa karena ketika mereka pergi dari rumah Don Bosco, mereka membawa selimut dan perlengkapan lainnya yang mereka pakai semalaman. Mama Margaretha sangat tanggap sehingga ia sempat menyampaikan pesan-pesan singkat bagi anak-anak lain yang menginap dirumahnya. Isi pesannya adalah supaya anak-anak itu tidak mencuri dan berlaku adil kepada sesama. Ini menjadi cikal bakal ‘pesan-pesan’sebelum istirahat malam di oratorium, hingga saat ini di komunitas Salesian.

Don Bosco mengajarkan sikap adil kepada anak-anak muda yang miskin melalui pengalaman kesehariannya. Ia mencoba untuk menampung anak-anak muda yang miskin, memberi pelatihan keterampilan dan mengajarkan agama kepada mereka. Don Bosco dan Mama Margaretha pernah merasa kecewa karena perilaku anak-anak muda yang nakal saat itu (membawa selimut dan perlengkapan lainnya). Benar bahwa pengalaman adalah guru kehidupan. Maka Don Bosco tetap berusaha untuk dapat memenangkan hati kaum muda. Kejahatan dibalasnya dengan kasih dan kebaikan! Prinsipnya, ‘Da mihi animas coetera tolle’. Maka bagi Don Bosco, sikap adil itu ada ketika ia dapat memenangkan jiwa-jiwa orang muda, menguduskan mereka dan membantu orang-orang muda itu untuk berani melepaskan yang tidak berguna bagi keselamatan jiwanya.

Don Bosco dalam diri Para Salesian saat ini

Para Salesian saat ini berkarya di sekitar 134 negara. Ada negara-negara yang sangat mudah menerapkan sistem edukasi Don Bosco yaitu sistem preventif karena kultur katoliknya kuat, ada juga banyak kesulitan di negara-negara yang hanya sedikit saja kultur katoliknya. Namun demikian, sistem preventif tetap aktual dan dapat berhasil diterapkan karena orang-orang muda yang miskin adalah sasaran perutusan para Salesian. Selagi masih ada orang-orang muda yang miskin, para Salesian akan tetap berusaha untuk meneruskan warisan Don Bosco ini. Don Bosco tetap menjadi bapa, guru dan sahabat dalam diri para Salesian untuk memanusiakan manusia muda.

Dalam konteks Indonesia, para Salesian masih berusaha untuk menunjukkan jati dirinya sebagai penerus Don Bosco yang hidup saat ini. Lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki oleh para Salesian di Pulau Jawa dan Pulau Sumba belumlah menjadi lembaga favorite. Oratorium yang sedang berjalan di berbagai komunitas Salesian masih belum cukup menunjukkan warna oratorium dalam pikiran Don Bosco. Artinya oratorium itu bukan hanya sekedar anak-anak muda berkumpul untuk bermain basket, bernyanyi, berekreasi bersama, namun lebih dari itu pelatihan-pelatihan keterampilan ala Don Bosco haruslah semakin berkualitas untuk mendukung kaum muda. Lembaga-lembaga Pendidikan formal yang dikelola para Salesian semakin menunjukkan daya saingnya untuk menjadi Lembaga favorite di suat saat nanti. Dari sanalah kaum muda akan belajar tentang keadilan sosial dalam hidup mereka.

Berbenah diri

Don Bosco mendidik kaum muda yang miskin untuk memiliki rasa keadilan bukan hanya sekedar ‘menata kata-kata’ melaikan dengan hidupnya yang nyata. Kehadirannya yang aktif bahkan ia sendiri meninggal di oratorium, di tengah kaum muda binaannya. Ini menjadi sebuah tantangan bagi para Salesian zaman now. Apakah kaum muda yang miskin masih menjadi satu-satunya ‘optio’ pelayanan para Salesian? Apakah masih ada managemen kehadiran yang aktif di tengah kaum muda atau mulai perlahan-lahan pudar? Butuh sign out dari semua yang menghalangi pelayanan kepada kaum muda. Hanya dengan demikian para Salesian dapat mengajarkan keadilan sosial yang benar kepada kaum muda. Satu kata untuk para Salesian adalah ‘berbenah diri’ supaya serupa dengan Don Bosco. St. Yohanes Bosco, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply