Homili Hari MInggu Biasa ke-XXVIIC – 2022

Hari Minggu Biasa XXVII/C
Hab. 1:2-3; 2:2-4
Mzm. 95:1-2,6-7,8-9
2Tim. 1:6-8,13-14
Luk. 17:5-10

Orang benar hidup oleh imannya

Kita memasuki hari Minggu Biasa ke-XXVII/C. Fokus perhatian kita pada hari Minggu ini adalah pada orang benar yang hidup oleh imannya. Orang benar adalah orang yang hidup dalam kebenaran atau hidup di dalam Tuhan. Kiblat hidup mereka hanya terarah kepada Tuhan saja. Sebagai contoh kita mengenal sosok Abraham dan Sara. Mereka memang memiliki kelebihan dan kekurangan di hadirat Tuhan. Hingga usia senja mereka tidak memiliki anak yang lahir dari darah daging mereka sendiri. Namun karena hidup mereka adalah sebagai orang benar sehingga mereka layak untuk mendapatkan seorang anak yaitu Ishak. Kita mengenang kisah hidup santa Ana dan Yoakim. Orang tua BUnda Maria ini juga hingga memasuki usia senja, belum mendapat karunia anak. Hidup mereka juga sebagai orang benar dan Tuhan menganugerahkan kepada mereka seorang anak perempuan yang mereka namai Maria. Orang benar itu selalu membuka diri kepada Tuhan Allah yang sudah menganugerahkan Anak-Nya yang tunggal sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup. Mereka melakukan segala sesuatu di dalam Yesus yang memberi kekuatan dan kasih karuniaNya.

Dalam bacaan pertama kita mendengar nubuat dari nabi Habakuk. Nama Habakuk dalam bahasa Ibrani adalah: חֲבַקּוּק yang berarti “rangkulan”Beliau adalah nabi ke-8 dari 12 nabi-nabi kecil. Habakuk melihat situasi masyarakat zamannya yang mengalami banyak kesulitan. Sebab itu ia berteriak kepada Tuhan namun seolah-olah Tuhan tidak mendengarnya. Ia menyeruhkan situasi penindasan di dalam masyarakat namun belum ada pertolongan dari Tuhan. Bagi Habakuk, ia melihat kejahatan dan kelaliman yang meraja lela di dalam masyarakat saat itu namun Tuhan seakan diam. Habakuk merasa tertekan di hadirat Tuhan. Reaksi Tuhan terhadap situasi yang dihadapi Habakuk dan jemaat saat itu terungkap dalam perkataan ini: “Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya. Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh. Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup berkat imannya.” (Hab 2:2-4).

Pengalaman Habakuk adalah pengalaman kita. Betapa mudahnya kita bersungut-sungut ketika doa dan harapan kita itu rasanya tidak didengar oleh Tuhan. Ternyata bukanlah demikian. Tuhan selalu mendengar dan bahwa pertolongan Tuhan selalu ada dan tepat pada waktunya. Kita sebagai manusia yang selalu bersungut-sungut kepada Tuhan. Mungkin yang melekat pada kita adalah kesombongan. Orang sombong adalah orang yang membusungkan dada, hatinya tidak lurus kepada Tuhan. Orang seperti ini tidaklah beriman kepada Tuhan. Orang beriman adalah orang benar. Orang yang memiliki hato yang tembus pandang kepada Tuhan. Orang benar hidup oleh imannya. Perkataan yang sama juga diulangi santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma: “Orang benar hidup oleh iman” (Rom 1:17). Apakah anda dan saya adalah orang benar? Apakah anda dan saya memiliki iman?

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil menekankan tentang iman dan hidup yang nyata. Santo Paulus mengatakan: “Ergo fides ex auditu, auditus autem per verbum Christi.” (Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (Rom 10:17). Iman dan pendengaran itu berjalan bersama-sama. Iman adalah anugerah Tuhan yang diberikan secara cuma-cuma. Surat kepada umat Ibrani memberikan pemahaman mendasar tentang iman: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat… Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1, 3). Iman membuat kita percaya bahwa ada Allah yang tak kelihatan, yang menciptakan dunia yang kelihatan di sekitar kita.

Para murid Yesus sudah sedang berjalan bersama Yesus. Mereka belajar menjadi orang benar yang hidup oleh iman. Sebab itu mereka tidak sungkan untuk meminta kepada Yesus: “Tambahkanlah iman kami!” (Luk 17:15). Manusia memang sudah memiliki metrai iman dan masih mengharapkan supaya Tuhan menambahkan iman mereka. Ini berarti mereka sudah memiliki apa-apa bukan belum punya apa-apa. Mereka meminta supaya Tuhan menambahkan iman, menguatkan iman yang sudah Tuhan berikan gratis itu. Tuhan Yesus tidak langsung menjawab ‘baiklah saya menambahkan imanmu’. Tuhan memberikan proses penyadaran kepada mereka bahwa iman kecil atau besar itu nomor kedua, yang terpenting adalah persekutuan dan kelayakan dengan Tuhan. Tuhan Yesus berkata: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.” (Luk 17:6).

Di samping iman bagi orang benar supaya dapat hidup di hadirat Tuhan, aspek lain untuk mengejawantah iman adalah semangat untuk memiliki hati sebagai hamba untuk mengabdi. Seorang hamba akan setia melayani sampai tuntas. Prinsip penting dari seorang beriman adalah menyadari tugas dan pelayanannya dan dia siap untuk melayani sampai tuntas. Semangat mengabdi ini tercermin dalam perkataan ini: “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17:10). Semangat menjadi hamba seperti Bunda Maria yang mengatakan FIAT atau semangat sebagai hamba Tuhan sampai tuntas. Semangat yang oleh Santo Gregorius Agung dijadikan sebagai semboyan dan pedoman pelayanan seorang gembala di dalam Gereja yakni Servus Servorum Dei (Hamba dari segala hamba). Prinsip dan semangat menghamba inilah yang harus menjadi pedoman dalam hidup sebagai orang beriman dan sebagai abdi Tuhan.

Apa yang harus kita lakukan?

Untuk mewujudnyatakan iman dan pengabdian dalam hidup yang nyata maka butuh kesadaran dari dalam diri kita sebagai umat Allah. Sebagaimana Paulus menasihati Timotius di dalam bacaan kedua, kiranya nasihat yang sama menguatkan kita untuk membawa Gereja ke depan dengan semangat evangelisasi baru. Maka perlu semangat seorang benar dan seorang abdi yang mengobarkan karunia Allah di dalam diri kita masing-masing. Allah yang melalui pegurapan kudus-Nya membuat kita menerima Roh Kudus. Tuhan memberikan kita roh kekuatan bukan roh ketakutan. Maka yang harus kita lakukan sebagai orang beriman yang memiliki roh keberanian untuk tidak malu bersaksi tentang Tuhan kita. Semangat untuk bersaksi dilandasi oleh iman, harapan, kasih dan pengabdian kepada Kristus. Bunda Maria Ratu Rosari, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB